Kisah Penuh Liku dan Menegangkan!

Novel ini memikat hati pembaca dengan cerita yang begitu realistis, sehingga sangat gampang membayangkan sosok dan kepribadaian sejumlah tokoh yang muncul dalam kisahnya. —John H. McGlynn, penerjemah dan editor berkebangsaan Amerika.

Kisah Ini Mengandung Satire, Jenaka, dan Tajam!

Kisah ini mengandung satire ringan, jenaka, dan juga tajam—sesuatu yang memang telah menjadi salah satu kekuatan dari gaya bercerita dia. —Joko Pinurbo, penyair.

Dapatkan Novel Burung Terbang di Kelam Malam karya Arafat Nur!

Sebuah novel menarik berbalut intrik politik dan kisah cinta yang unik. —Anton Kurnia, penulis cerita dan editor buku sastra.

Novel Paling Romantis Tentang Sisi Gelap Politik dan Cinta

Beragam konflik yang dialami tokoh-tokohnya saling menjalin dan menjadi cerminan sebuah realitas yang lebih besar: betapa manusia akan selalu berhadapan dengan sisi gelap kemanusiaan mereka sendiri. —Ika Yuliana Kurniasih, editor Penerbit Bentang.

Berani, Genit, dan Terus Menggoda Hingga Akhir Cerita!

Novel ini seperti menelanjangi sisi-sisi gelap manusia yang tersembunyi, dan bahkan akan mengguncang jiwa. Yang pasti sangat bertolak-belakang dengan bayangan Aceh yang sebelumnya ada dalam pikiran kita semua. —Sandi Firly, penulis novel Lampau.

Selasa, 04 Maret 2014

Lewat Novel, Arafat Nur Ajak Gemar Membaca

Nanda Feriana |The Globe Journal
Jum`at, 24 Januari 2014 19:10 WIB
Arafat Nur, nama ini sudah tidak asing lagi dalam dunia kesusasteraan Aceh. Penulis muda Aceh ini sudah sejak lama melalangbuana dalam dunia kepenulisan. Di Aceh, namanya kian melejit sejak novel Lampuki yang ditulisnya beberapa tahun lalau memenangkan sejumlah penghargaan di tingkat Nasional.
Arafat mulai menulis karya sastra di tahun 90-an. Di antara sejumlah karya nya itu seperti novel Cinta Bidadari (Pustaka Intermasa Jakarta, 2007), Meutia Lon Sayang (Mizan Bandung, 2005),  Percikan Darah di BungaNyanyiam Cinta di Tengah Ladang , Cinta Mahasunyi dan sejumlah judul cerpen serta puisi lainnya yang sudah sering mengisi media massa.
Desember 2013 yang lalu, Arafat Nur kembali melahirkan sebuah novel yang berjudul Burung Terbang Di Kelam Malam. Berbeda dengan Lampuki yang dinilai berat, karena mengangkat isu sosial dan politik pada masa konflik di Aceh, novelnya kali ini dinilai lebih ringan namun masih tetap menghibur dan berlatar Aceh.
Melalui novelnya ini Arafat Nur mengatakan bahwa ia mencoba mengajak  masyarakat Aceh untuk lebih gemar membaca.  “Dalam novel Burung Terbang di Kelam Malam ini, saya mencoba menjelaskan apa itu novel, bahkan ada teorinya. Di situ saya coba gambarkan realitas bahwa masyarakat kita saat ini sangat tidak akrab dengan bacaan, bahkan dengan benda yang bernama novel itu. Oleh karenanya novel ini bermaksud untuk memncerdaskan masyarakat, ” ujarnya.
Selain itu ia juga mengatakan bahwa sisi menarik lainnya dalam novel Burung Terbang di Kelam Malam adalah adanya sisi edukatif yang secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk menulis. Menurutnya dengan membaca orang akan memiliki kemampuan menulis, karena syarat bisa menulis adalah membaca,” ujarnya.
Penulis yang pernah mendapatkan anugerah begengsi di Indonesia yakni Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2011 untuk kategori fiksi dan pernah meraih penghargaan sebagai pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010 itu mengaku tidak ambil pusing jika karya-karya nya selama ini dikatakan kontroversi oleh segelintir orang.   
“Saya niatnya untuk mendidik, bukan malah membodohkan masyarakat Aceh. Jika ada orang yang menilai begitu, tidak masalah bagi saya. Itu hak mereka.” katanya kepada The Globe Journal, Jumat (24/1).
Penulis yang pernah diundang dalam acara Ubud Writers and Readers Festival tahun 2011 ini mengatakan novelnya akan segera beredar pada awal Februari mendatang. “Ini novel ringan, dan mudah dipahami serta cocok dibaca untuk semua kalangan. Semoga bisa diterima dengan baik oleh masyarakat Aceh nantinya, “ tutupnya. []

Rabu, 26 Februari 2014

Baik Buruk Saya Biarkan Saja Diketahui Orang

Lampuki

INI adalah sepuluh rahasia unik tentang Arafat Nur, yang sebagian besar fakta ini dirangkum dari sumber keluarga, teman-teman dekat, dan dari Arafat Nur sendiri yang tidak pernah diungkapkan kepada publik. Sebagian kecilnya memang telah dipublikasikan oleh seorang jurnalis yang menelusuri kehidupannya di pesantren, sebagian lagi dari riwayat masa kecilnya yang ditulis Arafat sendiri di Harian Waspada, berkenaan dengan kakeknya. Sebagian lagi gunjang-ganjing fitnah terhadapnya di salah satu media online.

Tentang tulisan ini sendiri Arafat Nur telah memberi izin dengan komentar, “Terserah Kalian saja mau tulis apa tentang saya. Kalau memang saya buruk, tulislah buruk. Kalau baik, tulislah baik. Saya tak akan menghalangi usaha Kalian. Yang jangan memfitnah saya dengan yang tidak-tidak.” Jadi, inilah 10 fakta mengejutkan tentang Arafat Nur, penulis novel yang selalu kesepian, dikagumi dan juga dibenci sebagian orang. Sebagian besar kehidupannya memang masih sangat misteri karena dia tidak suka membuka diri.

1.      Arafat Nur lahir di Medan dari keluarga berada. Foto pernikahan ayah-ibunya muncul di halaman depan Harian Waspada, sebuah surat kabar satu-satunya dan paling terkemuka waktu itu di Medan, tempat sekarang Arafat Nur mengirimkan berita setelah sebelumnya dia sempat menjadi pengantar koran tersebut.

2.      Muhammad Ali, kakek Arafat Nur dari pihak ibu, adalah seorang tentara Haiho, pejuang yang melawan Belanda dan Jepang, juga seorang guru ngaji yang sangat fasih mengajarkan tajwid para qari-qariah. Pada masa merdeka kakeknya ini menjadi saudagar lembu yang cukup kaya di Medan. Kakeknya ini juga adalah guru ngaji pertama Arafat yang terkenal keras, tetapi kepada cucunya ini sangat lembut. Arafat Nur adalah murid paling cepat menguasai Alqur’an sehingga kakeknya sangat bangga dan takjub, serta amat menyanyanginya.

3.      Arafat Nur juga menjadi salah satu cucu kesayangan Nasfiah, nenek dari pihak ibunya, sehingga cucu-cucu yang lain ikut iri. Sejak masih usia lima tahun, Arafat adalah anak paling rewel bertanya tentang Tuhan dan apa saja sehingga Fatimah, ibunya sendiri, sering dibuat kesal. Nurdin, ayahnya memiliki wawasan luas tentang agama dan sejarah yang kerap memuaskan segala pertanyaan bocah rewel ini.

4.      Usia tujuh tahun Arafat pindah ke pedalaman Aceh Timur mengikuti ayahnya yang beralih pekerjaan dari kerani kereta api menjadi petani. Untuk itu, setiap pagi Arafat kecil harus menempuh jarak 10 Km naik turun bukit dengan berjalan kaki ke sekolah yang ditempuhnya hampir satu jam penuh, dan beberapa kali sempat pingsan di tengah jalan saat pulang sekolah di bawah terik matahari yang menjengat. Setiap hari dia hanya diberikan uang jajan Rp5 pada kelas I dan Rp25 pada kelas II SD.

5.      Dia masuk SMP di Idi, menjadi murid kesayangan di tempat pengajian di Teupin Nyareng. Di sekolah dia selalu masuk tujuh besar siswa terpintar sekalipun tidak pernah mengulang pelajaran di rumah. Pada kenaikan kelas III SMP diadakan lomba musabaqah, dan Arafat mendapat juara satu. Begitu juga saat pembagian raport, dia juga mendapatkan juara satu di kelas.

6.      Dia melanjutkan SMA di Meureudu, Pidie, dan hidup dalam ketidak menentuan akibat perang yang membuat nilainya jatuh merosot. Namun, dia tetap berada dalam 10 besar siswa berprestasi di sekolah. Dia juga mendalami ilmu agama di pesantren Darussalam, di samping mengajar baca Alqur’an dan Kitab Jawi. Bahasa kitab Jawi inilah yang kemudian mempengaruhi gaya tulisannya dalam novel Lampuki yang memperkenalkannya ke kancah sastra nasional.

7.      Saat mengaji dan mengajar ngaji, Arafat hampir tidak pernah mengenakan sarung di antara santri-santri yang semuanya berkain sarung. Namun, tidak ada seorang pun protes dan tidak seorang pun yang menganggapnya aneh, justru dia terlihat aneh manakala memakai sarung. Dia adalah anak yang pandai bergaul dan disukai teman-teman karena kesenangan humor, yang kemudian terbawa pada gaya cerita dalam novel-novelnya.

8.      Saat berada di rumah dan saat dia menulis, Arafat kerap memakai celana pendek. Begitu datang tamu, dia segera menggantinya dengan celana panjang sehingga tidak ada yang tahu kebiasaannya yang aneh ini selain keluarganya sendiri yang tidak terlalu peduli dengan apa yang dikerjakannya. Celana pendek adalah pakaian kecilnya dari SD sampai SMP. Bahkan saat SMA, dalam biliknya di pesantren, dia kerap memakai celana pendek yang tidak pernah sekalipun dipertanyakan, sebab itu memang ruang pribadi.

9.      Arafat Nur adalah sosok awet muda, suka olahraga, makan sayur, dengar musik, dan membaca buku apa saja. Sejak tamat SMA, dirinya seperti tidak mengalami perbedaan mencolok pada sosok dan raut wajahnya, seakan-akan dia agak diabaikan oleh waktu, sehingga cukup mudah bagi siapa saja mengenalinya sekalipun sepuluh tahun tidak bertemu dengannya. Namun, dia cukup sulit mengenali orang lain, malahan teman-temannya tampak jauh lebih tua darinya, kadang dipanggilnya dengan “Abang” atau “Kakak”. Ada pula orang yang usianya 20 tahun lebih muda darinya, memanggil Arafat dengan “Dik”.
Burung Terbang di Kelam Malam

10.  Akhir-akhir ini ada sekumpulan orang yang kerap menfitnahnya, mengatakan apa yang tidak diucapkan yang kemudian membuat Arafat lebih banyak diam. Dia kemudian sadar, setelah dua novelnya yang terakhir terbit, dia mulai disorot banyak orang. Itulah sebabnya dia lebih suka mendengar daripada berbicara ketika berada di tempat umum. Ada pula kalangan lain yang pikirannya sempit langsung mengklaim novelnya buruk tanpa pernah membacanya lebih dulu. Namun, Arafat adalah sosok yang lapang dada, tanpa mengugat ataupun berusaha membela dirinya yang dizalimi. Ketika ada teman yang kesal tentang masalah itu, dia hanya berucap, “Biarkan saja. Lagi pula saya ini memang bukan orang baik, dan hati saya ini pun belum tentu bisa dibaguskan.”

Begitulah sepuluh fakta tentang Arafat Nur yang telah melahirkan novel Lampuki (Serambi, 2010) yang fenomenal, dan terakhir Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang, 2014) yang tidak kalah hebatnya. Pikiran-pikiran tajam dan mengejutkan darinya yang tidak diucapkan, tertuang secara padat, bernas, dan penuh makna dalam novel setebal 392 halaman ini. Dia menjadi tokoh penting dalam khazanah sastra nasional dengan buah karyanya yang cerdas dan mencerahkan, tetapi tidak pernah dipedulikan pemerintah dan novel-novelnya kerap diabaikan oleh sebagian besar masyarakat Aceh yang memang tidak suka membaca.(nagita)

Senin, 10 Februari 2014

Cover Novel yang Mengandung Magis

Burung Terbang di Kelam Malam, Bentang, 2014.
SEKILAS, cover novel Burung Terbang di Kelam Malam ini tampak biasa saja. Namun, jika lebih lama kita memandanginya, terasa ada kekuatan magnet yang luar biasa. Cover dengan pagar kawat duri dan sejumlah burung berterbangan di antara sebuah lingkaran bulat warna coklat muda dengan latar utama biru ini memang mengesankan akan sebuah keunikan.

Cover ini dimaksudkan sebagai ilustrasi yang lebih mendekati jiwa novel ini sehingga (agaknya) pihak Bentang melakukan pertimbangan ulang terhadap cover lama yang dianggap sangat tidak mewakili. Cover baru ini, jika diletakkan di antara cover-cover buku lain, ia akan tampak lebih menonjol, elegan, unik, dan mistis!

Selain itu, keseluruhan dari ilustrasi dan warna cover ini memang melambungkan imajinasi pada suatu dunia yang penuh daya tarik dan menimbulkan rasa penasaran. Kita akan bertanya-tanya dan tak sabar bagaimana isi novel ini sebenarnya, setelah sebelumnya Arafat Nur melahirkan Lampuki yang memenangkan sayembara Novel DKJ 2010 dan semakin menguatkan eksestensi novel itu dengan penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2011.

Sebagaimana yang digembar-gembor, novel Burung Terbang di Kelam Malam ini mengalami pergeseran gaya, tema, dan jiwa. Dalam novel terbarunya ini, Arafat Nur coba menarik daya pikat pembaca dengan ramuan cerita yang bisa dinikmati oleh siapa saja tanpa mengabaikan kualitas sastranya. Inilah yang membuat khalayak pembaca semakin menaruh rasa penasaran terhadap novel yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka Februari 2014 ini.

Menurut Editor Fiksi Bentang, Ika Yuliana Kurniasih, melalui novel terbarunya ini, Arafat Nur semakin membuktikan bahwa dirinya adalah seorang pencerita ulung. “Dengan lincah, ia meracik sebuah cerita yang begitu menghanyutkan, membawa kita merasakan derasnya arus politik dan cinta terlarang yang mengombang-ambingkan kehidupan Fais, tokoh utama dalam novel ini,” ujarnya.

Selain mengungkap lika-liku kisah cinta yang tidak biasa, gugatan dalam novel ini terhadap kebusukan di balik politik pencitraan pun disuarakan melalui satire yang tajam dan tepat sasaran.


Novel ini juga memiliki kecermatan pemilihan kata yang memang telah menjadi kekuatan gaya bercerita Arafat Nur, dan berhasil mengantarkan pembaca menelurusi relung terdalam pikiran dan perasaan Fais. Beragam konflik yang dialami tokoh-tokohnya saling menjalin dan menjadi cerminan sebuah realitas yang lebih besar: betapa manusia akan selalu berhadapan dengan sisi gelap kemanusiaan mereka sendiri.(dani)

Rabu, 29 Januari 2014

70 Kata Bijak Penulis Dunia



  1. Marah itu gampang. Tapi marah kepada siapa, dengan kadar kemarahan yang pas, pada saat dan tujuan yang tepat, serta dengan cara yang benar itu yang sulit. (Aristoteles)
    2. Kesakitan membuat Anda berpikir. Pikiran membuat Anda bijaksana. Kebijaksanaan membuat kita bisa bertahan dalam hidup. (John Pattrick).

    3. Jangan pernah melupakan apa pun yang dikatakan seseorang ketika ia marah, karena akan seperti itu pulalah perlakuannya pada Anda. (Henry Ward Beecher)

    4. Keberhasilan adalah kemampuan untuk melewati dan mengatasi dari satu kegagalan ke kegagalan berikutnya tanpa kehilangan semangat. (Winston Chuchill)

    5. Bakat terbentuk dalam gelombang kesunyian, watak terbentuk dalam riak besar kehidupan. (Goethe)

    6. Secara teoritis saya meyakini hidup harus dinikmati, tapi kenyataannya justru sebaliknya – Karena tak semuanya mudah dinikmati. (Charles Lamb)

    7. Orang yang menginginkan impiannya menjadi kenyataan, harus menjaga diri agar tidak tertidur. (Richard Wheeler)

    8. Bila Anda ingin bahagia, buatlah tujuan yang bisa mengendalikan pikiran, melepaskan tenaga, serta mengilhami harapan Anda, (Andrew Carnegie).

    9. Kita hanya berfikir ketika kita terbentur pada suatu masalah. (John Dewey)

    10.Kesalahan orang lain terletak pada mata kita, tetapi kesalahan kita sendiri terletak di punggung kita. (Ruchert)

    11.Yang baik bagi orang lain adalah selalu yang betul-betul membahagiakannya. (Aristoteles)

    12.Semua yang riil bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat riil. (Hegel)

    13.Sebelum menolong orang lain, saya harus dapat menolong diri sendiri. Sebelum menguatkan orang lain, saya harus bisa menguatkan diri sendiri dahulu. (Petrus Claver)

    14.Lebih baik bertempur dan kalah daripada tidak pernah bertempur sama sekali. (Arthur Hugh Clough)

    15.Hidup adalah lelucon yang baru saja dimulai. (W.S. Gilbert)

    16.Orang yang bisa menggunakan dan menyimpan uang adalah orang yang paling bahagia, karena ia memiliki kedua kesenangan. (Samuel Johnson)

    17.Kebijaksanaan tidak pernah berbohong. (Homer)

    18.Tuhan sering mengunjungi kita, tetapi kebanyakan kita sedang tidak ada di rumah. (Joseph Roux)

    19.Seorang pendengar yang baik mencoba memahami sepenuhnya apa yang dikatakan orang lain. Pada akhirnya mungkin saja ia sangat tidak setuju, tetapi sebelum ia tidak setuju, ia ingin tahu
    dulu dengan tepat apa yang tidak disetujuinya. (Kenneth A. Wells)

    20.Seorang pria sudah setengah jatuh cinta kepada wanita yang mau mendengarkan omongannya dengan penuh perhatian. (Brenden Francis)

    21.Kebahagian hidup yang sebenarnya adalah hidup dengan rendah hati. (W.M. Thancheray)

    22.3x25 Watt ≠ 75 Watt
    Sebuah bola lampu berukuran 75 watt kelihatan bersinar lebih terang dibandingkan dengan tiga buah bola lampu 25 Watt yang dinyalakan bersamaan.

    23.Dari semua hal, pengetahuan adalah yang paling baik, karena tidak kena tanggung jawab maupun tidak dapat dicuri, karena tidak dapat dibeli, dan tidak dapat dihancurkan. (Hitopadesa)

    24.Bila orang mulai dengan kepastian, dia akan berakhir dengan keraguan. Jika orang mulai dengan keraguan, dia akan berakhir dengan kepastian. (Francis Bacon)

    25.Cuma sedikit orang yang menginginkan kebebasan, kebanyakan hanya menginginkan seorang tuan yang adil. (Gaius Sallatus Crispus)

    26.Tak diinginkan, tak dicintai, tidak diperhatikan, dilupakan orang, itu merupakan derita kelaparan yang hebat, kemiskinan yang lebih besar daripada orang yang tak bisa makan. Kita harus saling merasakan hal itu. (Ibu Teresa)

    27.Pengalaman bukan saja yang telah terjadi pada diri Anda. Melainkan apa yang Anda lakukan dengan kejadian yang Anda alami. (Aldous Huxley)

    28.Dunia adalah komedi bagi mereka yan memikirkannya, atau tragedi bagi mereka yang merasakannya. (Harace Walpole)

    29.Saya percaya kata managing berarti memegang burung dara di kepalan tangan. Kalau terlalu kencang ia akan mati. Tapi bila terlalu kendur, bisa terlepas. (Tommy Lasorda)

    30 Sejarah manusia merupakan tanah pemakaman dari kebudayaan-kebudayaan yang tinggi, yang rontok karena mereka tidak mampu melakukan reaksi sukarela yang terencana dan rasional untuk menghadapi tantangan. (Erich Fromm)

    31.Kemajuan merupakan kata yang merdu. Tetapi perubahanlah penggeraknya dan perubahan mempunyai banyak musuh. (Robert F. Kennedy)

    32.Kita mengajarkan disiplin untuk giat, untuk bekerja, untuk kebaikan, bukan agar anak-anak menjadi loyo, pasif, atau penurut. (Maria Montessori)

    33.Tugas dan pendidikan ialah mengusahakan agar anak tidak mempunyai anggapan keliru bahwa kebaikan sama dengan bersikap loyo dan kejahatan sama dengan bersikap giat. (Maria Montessori)

    34.Kemampuan menertibkan keinginan merupakan latar belakang dari watak. (John Locke 1632-1704)

    35.Kebahagian dari setiap negara lebih bergantung pada watak penduduknya daripada bentuk pemerintahannya. (Thomas Chandler Haliburton 1796-1865)

    36.Menyikat lantai dan mencuci pispot sama mulianya seperti menjadi presiden. (Richard M. Nixon)

    37.Jangan pernah membanting pintu, siapa tau kita harus kembali. (Don Herold)

    38.Diplomat ialah orang yang selalu ingat pada ulang tahun seorang wanita tetapi tidak pernah ingat berapa umur wanita itu. (Robert Frost)

    39.Orang yang paling tidak bahagia ialah mereka yang yang paling takut pada perubahan. (Mignon McLaughlin)

    40.Kalau manusia berangsur menjadi tua, umumnya ia cendrung menetang perubahan, terutama perubahan ke arah perbaikan. (John Steinbeck)

    41.Selama hidup saya yang sudah 87 tahun ini, saya telah menyaksikan serentetan revolusi teknologi. Tetapi tidak satu pun diantaranya yang tidak membutuhkan watak yang baik atau kemampuan untuk berfikir. (Bernard M. Baruch)

    42.Pendidikan mempunyai akar yang pahit, tapi buahnya manis. (Aristoteles)

    43.Pendidikan mengembangkan kemampuan, tetapi tidak menciptakannya. (Voltaire)

    44.Pendidikan yang baik tidak menjamin pembentukan watak yang baik. (Fonttenelle)

    45.Setelah makan, pendidikan merupakan kebutuhan utama rakyat. (Danton)

    46.Kerendahan hati disukai orang-orang terkenal. Namun orang yang bukan apa-apa sulit untuk rendah hati. (Paul Valěry)

    47.Emansipasi merupakan seni untuk berdiri di atas kaki sendiri namun dipeluk tangan orang lain. (Alex Winter)

    48.Sebelum menikah saya mempunyai enam teori tentang bagaimana mendidik anak. Kini saya mempunyai enam anak dan tidak mempunyai teori. (John Wilmot, Earl of Rochester 1647-1680)

    49.Kebahagiaan itu seperti batu arang, ia diperoleh sebagai produk sampingan dalam proses pembuatan sesuatu. (Aldous Huxley)

    50.Dari pesawat terbang yang saya cintai, saya melihat ilmu pengetahuan yang saya puja memusnahkan kebudayaan, padahal saya mengharapkan mereka dimanfaatkan untuk kebudayaan. (Charles A. Lindbergh, Jr.)

    51.Harapan adalah tiang yang menyangga dunia. (Pliny the Elder)

    52.Alat penghemat kerja yang paling populer sampai saat ini masih tetap suami yang berada. (Joey Adams)

    53.Seorang arkeolog merupakan suami yang terbaik yang bisa diperoleh wanita; makin tua si istri, makin besar minat suami terhadapnya. (Agatha Cristie)

    54.Saya lebih suka lamunan untuk masa akan datang daripada sejarah masa lalu. (Thomas Jefferson 1743-1826)

    55.Jangan memberi nasehat kalau tidak diminta. (Erasmus)

    56.Manusia mudah dibohongi oleh orang yang dicintainya. (Molire)

    57.Sebelum menulis, belajarlah berpikir dulu. (Boileau)

    58.Orang yang berjiwa cukupan, merasa bisa menulis dengan hebat. Orang yang berjiwa besar merasa bisa menulis cukupan. (La Bruyère)

    59.Kemenangan yang paling indah adalah bisa menaklukkan hati sendiri. (La Fontaine)

    60.Tidak ada yang selembut dan sekeras hati. (G.C. Lichtenberg)

    61.Lebih baik mengerti sedikit daripada salah mengerti. (A. France)

    62.Orang memerlukan dua tahun untuk berbicara, tetapi limapuluh tahun untuk belajar tutup mulut. (Ernest Hemingway)

    63.Penulis buku jarang intelektual. Intelektual ialah mereka yan berbicara tentang buku yang ditulis orang lain. (Françoise Sagan)

    64.Orang yang mencemarkan udara dengan pabriknya dan anak ghetto yang memecahkan kaca etalase toko menunjukkan hal yang sama. Mereka tidak peduli pada orang lain. (Dhaniel Patrick Moynihan)

    65.Mereka yang bermimpi di siang hari akan lebih menyadari bahaya yang luput dari penglihatan mereka yang mimpi di malam hari. (Edgar Allen Poe)

    66.”Mulai” adalah kata yang penuh kekuatan. Cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu adalah, “mulai”.Tapi juga mengherankan, pekerjaan apa yang dapat kita selesaikan kalau kita hanya memulainya. (Clifford Warren)

    67.Saya tak hanya menggunakan semua kecerdasan yang dimiliki otak melainkan juga yang dapat saya pinjam. (Woodrow Wilson)

    68.Yang kalah adalah wujud hukuman atas kegagalan. Pemenang adalah penghargaan atas kesuksesannya. (Bob Gilbert)

    69.Bila Anda mengatakan apa yang Anda pikirkan, jangan harap hanya mendengar apa yang Anda sukai. (Malcom S. Forbes)

    70.Kesulitan itu ibarat seorang bayi. Hanya bisa berkembang dengan cara merawatnya. (Douglas Jerrold)

--dikutip dari http://gembelkampoeng.blogspot.com/2011/04/70-kata-bijak-dari-penulis-terkenal-di.html
  -------------------------------------------------------------------------

Burung Terbang di Kelam Malam
Novel Terbaru Arafat Nur, beredar Februari 2014

Burung Terbang di Kelam Malam
Jika kehidupan adalah sebuah perjalanan, Fais adalah seorang petualang yang berjalan sendirian di antara riuhnya dunia. Di tengah masyarakat yang mengelu-elukan sosok Tuan Beransyah, Fais memilih jalannya sendiri. Ia ingin membuktikan bahwa kandidat wali kota yang dikenal alim, dermawan, dan pandai agama itu tidak lain adalah sosok yang amat munafik.

Maka, dimulailah sebuah perjalanan dengan kejutan di setiap tikungannya. Perjalanan itu tidak saja membuat Fais menemukan kebenaran di balik politik pencitraan yang memuakkan, tetapi juga kebenaran perasaannya. Fais akhirnya sadar, pertemuan dengan perempuan-perempuan yang sempat menggetarkan hatinya justru adalah jalan yang membawanya pulang pada cinta sejatinya.

Burung Terbang di Kelam Malam mengungkap kehidupan sosial yang begitu dekat; tentang sisi gelap politik dan cinta. Hubungan cinta terlarang, perasaan tidak berdaya, takut kehilangan, dan kesedihan  yang begitu kental, tanpa kehilangan rasa humor. Sebuah kisah yang berliku, tetapi diceritakan dengan sangat lugas dan mengalir.[]
   -------------------------------------






Ayi Jufridar, Satu dari Sedikit Novelis Aceh


Oleh: Arafat Nur
Penulis novel Burung Terbang di Kelam Malam
--dimuat di Harian Waspada.

AYI JUFRIDAR adalah salah seorang novelis dari jumlah sedikit yang dimiliki Aceh. Selain perang dan musibah gelombang laut raya, Aceh tak begitu menonjol dengan masalah lainnya. Kehadiran sosok seorang penulis novel benar-benar menjadi sesuatu yang langka, tetapi ini pun tidak menarik perhatian khalayak.

Umumnya orang Aceh sendiri tidak begitu percaya bila ada orang Aceh yang menulis novel. Novel adalah benda aneh dan langka di wilayah ini. Jangankan orang kampung, ada guru di sekolah agama negeri di Lhokseumawe sendiri tidak tahu dengan novel. Dan orang-orang berpendidikan di Aceh melarang anaknya membaca novel, sebab dikhawatirkan akan merusak moral.

Maka jangan heran bila novel sedikit sekali yang beredar di Aceh, itu pun novel picisan yang betul-betul merusak moral. Bahkan, bila ingin diselidiki, pada waktu perang dulu jumlah novel amat sedikit dibandingkan senjata api yang beredar di kampung-kampung. Novel dianggap lebih berbahaya dari senjata, sebab senjata tidak dapat meusak akhlak, hanya membunuh saja.

Banyak yang mengatakan orang Aceh tidak suka membaca, memang sampai sekarang pun tidak bisa dipungkiri. Namun, bukan orang Aceh saja kiranya, umumnya orang di Indonesia pun memanglah demikian. Itulah pula sebabnya novelis yang lahir di tanah ini sulit yang bisa terkenal setara artis. Apalagi mereka yang lahir di daerah luar Jakarta, terlebih lagi yang tinggal di Aceh.

Namun, Ayi—demikian dia disapa—bukanlah novelis biasa dengan karya yang biasa pula. Dia novelis yang menuai banyak prestasi di tingkat nasional sekalipun baru tiga buah novel yang dilahirkan. Melalui novel pertamanya Alon Buluek (Gelombang Laut yang Dahsyat) meroketkan namanya sebagai novelis penting di kancah sastra nasional.

Novel yang diangkat dari kisah korban tsunami yang melanda Aceh 2004 lalu memenangkan sayembara novel yang diselenggarakan Grasindo dan Radio Nederland Seksi Indonesia (Ranesi). Novel ini meraih juara tiga dari 600 lebih naskah yang masuk pada panitia, kemudian diterbitkan oleh Grasindo, dan telah pula dialih-bahasakan dalam Belanda.

Kemampuannya menulis novel tentu tidak datang secara serta-merta. Jauh hari sebelum itu, saat dia masih kuliah, telah banyak menulis cerpen di majalan yang terbit di Jakarta. Sampai sekarang pun dia masih tetap menyumbangkan tulisannya di berbagai majalah dan koran bergengsi terbitan Ibu Kota.

Selain itu karya berupa puisinya termaktub dalam bunga rampai Putroe Phang (2002), Aceh dalam Puisi (2003), Maha Duka Aceh (2005), Lagu Kelu (2005), cerita pendeknya juga dapat ditemui dalam Bayang Bulan di Pucuk Manggrove (DKB, 2006).

Ayi Jufridar memiliki kebiasaan yang terbilang ganjil oleh teman-teman kuliahnya, yaitu gemar membaca. Kebiasaan membaca di kalangan masyarkat umum terbilang sangat langka. Jarang-jarang ada mahasiswa yang membawa-bawa buku dan membacanya di suatu tempat ketika lagi senggang, selain hanya sebatas paksaan tugas kuliah semata.

Alumnus Politeknik Negeri Lhokseumawe yang juga gemar main bola ini menjadikan pekerjaan menulis secara rutin setiap harinya. Itu pula sebabnya dari dulu dia termasuk penulis yang paling praduktif, terutama dalam menulis cerita pendek yang karyanya kerap memenangkan berbagai sayembara bergengsi yang diselenggarakan di daerah dan tingkat nasional.

Sama sekali dia tidak memeliki bekal khusus di bidang penulisan sastra, selain kecintaan membacanya semata. “Sejak kecil saya sudah suka membaca dan menulis, maka bakat itu terus terasah seiring dengan perkembangan waktu. Kalau hanya berkutat pada teori, tanpa ada latihan, rasanya tidak mungkin bisa jadi penulis,” ujarnya.

Pertama sekali dia mengirim karyanya berupa cerita pendek pada 1992 dan dimuat tahun itu juga di majalah Aneka Yess! Inilah yang menumbuhkan kepercayaan dirinya dan membangkitkan semangat luar biasa dalam menulis. Tak lama, setelahnya, dia begitu banyak melahirkan karya puisi dan cerita pendek, sampai-sampai dia bisa membiayai kuliahnya sendiri.

Kedekatannya dengan dunia tulis ini pula yang membawanya menjadi seorang jurnalis sebuah koran terbitan lokal tahun 1997. Pekerjaan sebagai wartawan membuatnya terlalu sibuk. Demikian pun dia masih tetap menulis cerita pendek dan puisi. Dia merasa tidak bisa meninggalkan kebiasaan ini. Menulis baginya sudah semacam aliran darah di tubuh, tidak mungkin dipisahkan lagi.

Pada 2010 dia menerbitkan novel Kabut Perang, dan selang setahun kemudian muncul novel Putroe Neng. Novel terakhir ini membawanya pada Festival Sastra Internasional di Ubud Bali, dan semakin memantapkan kedudukannya sebagai novelis kuat yang tinggal di Aceh—wilayah yang lebih tekenal dengan perang dan musibah air laut ini.[]
   -------------------------------------------------------
Burung Terbang di Kelam Malam
Novel Terbaru Arafat Nur, beredar Februari 2014

Burung Terbang di Kelam Malam
Jika kehidupan adalah sebuah perjalanan, Fais adalah seorang petualang yang berjalan sendirian di antara riuhnya dunia. Di tengah masyarakat yang mengelu-elukan sosok Tuan Beransyah, Fais memilih jalannya sendiri. Ia ingin membuktikan bahwa kandidat wali kota yang dikenal alim, dermawan, dan pandai agama itu tidak lain adalah sosok yang amat munafik.

Maka, dimulailah sebuah perjalanan dengan kejutan di setiap tikungannya. Perjalanan itu tidak saja membuat Fais menemukan kebenaran di balik politik pencitraan yang memuakkan, tetapi juga kebenaran perasaannya. Fais akhirnya sadar, pertemuan dengan perempuan-perempuan yang sempat menggetarkan hatinya justru adalah jalan yang membawanya pulang pada cinta sejatinya.

Burung Terbang di Kelam Malam mengungkap kehidupan sosial yang begitu dekat; tentang sisi gelap politik dan cinta. Hubungan cinta terlarang, perasaan tidak berdaya, takut kehilangan, dan kesedihan  yang begitu kental, tanpa kehilangan rasa humor. Sebuah kisah yang berliku, tetapi diceritakan dengan sangat lugas dan mengalir.[]
   -------------------------------------

Selasa, 28 Januari 2014

Jangan Nulis Setengah Hati, Nanti Gagal

Bururng Terbang di Kelam Malam
Oleh: Arafat Nur, Penulis novel Burung Terbang di Kelam Malam.
--dimuat di harian Waspada.

BANYAK orang berkeinginan menulis puisi, cerpen, dan novel. Tatkala pelatihan manulis ataupun sekolah sastra dibuka, banyak sekali yang mendaftarkan diri, tetapi jarang di antara mereka yang bertahan sampai akhir pelajaran, apalagi pendidikan ini berlangsung sampai tiga bulan.

Di Sekolah Menulis Sasra Dewan Kesenian (DKA) Lhokseumawe yang saya gagas, misalnya. Sekolah ini menampung kapasitas hanya 30 siswa yang ternyata disesaki oleh 65 siswa pada hari pertamanya, datang dan mengikitu dengan begitu bersemangat dan minat yang menggebu-gebu.

Umumnya mereka sangat berhasrat untuk dapat menulis novel, paling tidak nantinya bisa menulis cerita pendek dengan baik. Terpancar dari sinar mata mereka, seolah-olah dengan mengikuti pelajaran ini secepat kilat mereka dapat menuliskan gagasan-gagasan luar biasa yang masih remang-remang dalam kepala mereka.

Bagi mereka, Sekolah Menulis  Sastra ini mengesankan adalah sebuah jalan pintas untuk dapat segera menulis cerita dengan baik, apalagi diasuh dan dibina oleh mereka yang sudah punya nama dan telah terbukti menghasilkan beberapa puisi, cerpen, dan novel yang memenangkan sejumlah penghargaan tingkat nasional.

Namun, para siswa yang masih awam ini belum memahami bahwa semua itu bukan jaminan. Keandalan pengajar memang membuka pelung besar bagi pengajaran yang lebih baik bila diiringi dengan kemauan belajar dan usaha yang keras untuk menguasai materi dan melatih diri dengan tekun pula.

Sepanjang proses belajar ini berlangsung adalah jalan panjang proses uji kesungguhan, apakah minat yang dimiliki siswa seimbang dengan usaha dan kerja keras. Maka, pada hari-hari selanjutnya banyak peserta yang bertumbangan; tidak datang, tidak mengerjakan tugas yang diberikan, dan mengabaikan latihan penting di rumah.

Bururng Terbang di Kelam Malam
Selama sebulan berlangsung dengan empat kali pertemuan, setiap Minggunya selama tiga jam, para peserta terus menyusut dan gairah mereka turun dratis setelah menghadapi berbagai tantangan, ternyata menulis itu tidak mudah, tidak bisa dilakukan seperti pekerjaan lain yang masih bisa dijalankan sambil bercanda-canda sesama kawan.

Dua bulan berikutnya hanya ada dua puluhan siswa yang masih bertahan, mereka yang punya tekad kuat dan berusaha mengatasi semua tantangan. Ternyata, mereka yang tersisa ini lebih berkualitas dari yang lain, baik dalam segi wawasan maupun dalam membangun cara perpikir positif.

Kendatipun menghadapi berbagai hambatan, mereka masih dapat menerima pelajaran dengan baik, setidaknya mereka lebih paham permasalahan yang dihadapi dalam menulis sebuah prosa. Menulis novel tidaklah semudah menulis artikel atau berita, apalagi bila dibandingkan dengan pekerjaan lain—itulah yang mereka pahami kemudian.

Penggarapan novel jarang bisa terjadi dalam hitungan hari, apalagi bulan. Penyelesaiana novel memerlukan masa yang panjang, ada yang satu dua tahun, tak jarang sampai tiga empat tahun, bahkan ada yang tujuh atau sepuluh tahun.

Sependek atau sepanjang apa pun waktu yang dibutuhkan untuk menulis cerita yang lengkap, semuanya tidak terlepas dari beberapa tuntutan yang perlu dipertimbangkan, terutama bagi para pumula yang memiliki hasrat untuk menjadi seorang novelis.

Perihal yang paling mendasar adalah menemukan gagasan menarik, merumuskannya dalam cerita singkat semacam sinopsisnya agar nanti mudah dalam mengembangkannya. Sinopsis ini dapat dikembangkan menjadi alur untuk kemudian menjadi adegan-adegan yang detail. Inilah yang kemudian sering disebut sebagai draf awal novel.

Mengenai gagasan bisa didapat dari pengalaman hidup sehari-hari, keadaan sekitar, imajinasi yang tiba-tiba terlintas, dan berbagai peristiwa lain. Ada kalanya gagasan menarik itu muncul ibarat kilat yang melesat cepat. Tergantung bagaimana pengetahuan dan kepekaan seseorang saja untuk bisa menangkapnya dengan baik sebagai bahan novel yang akan dikerjakan.

Sejumlah ihwal kecil juga tidak boleh diabaikan, seperti penggunaan nama tokoh, tempat, latar belakang kebudayaan, serta bangunan cerita yang tepat dan wajar. Ada baiknya untuk pemula agar menghindari nama tokoh yang terlalu banyak karena akan merumitkan, malahan bisa-bisa membingungkan pembaca.

Bururng Terbang di Kelam Malam
Sangat penting untuk menentukan pembagian alur secara teliti, karena alur adalah rentetan peristiwa yang terjadi di dalam cerita. Biasanya lebih mudah membuat alur lurus yang membangun cerita secara kronologis, dibandingkan metode kilas balik yang memaparkan peristiwa di masa lampau.

Bila dalam proses penulisan mengalami kebuntuan, carilah inspirasi dan tetaplah setia pada alur cerita yang sudah ditetapkan. Penulis novel adalah pejuang yang tak mengenal putus asa dan pantang menyerah sebelum pekerjaan selesai. Selagi buntu, bacalah karya-karya berkualitas milik orang lain dan pelajarinya secara lebih mendalam, baru kemudian tulis, tulis, dan tulis lagi.[] 

Dari Puisi ke Novel; Sebuah Proses Kreatif

Oleh: Arafat Nur
Burung Terbang di Kelam Malam
Penulis novel Burung Terbang di Kelam Malam

LAMA sebelum menulis cerita pendek (cerpen), saya sudah terlibat dengan sejumlah bacaan, baik buku kumpulan puisi, bunga rampai cerpen, novel, maupun buku teks sastra lainnya. Buku-buku bacaan ini saya dapatkan dari meminjam di perpustakaan sekolah semasa di SMP dan SMA yang kemudian banyak memberikan pemahaman tentang sastra bagi saya.
Tidak ada bayangan bahwa kelak saya akan menulis puisi, cerpen, ataupun novel. Saya membaca buku-buku itu hanya sebatas menikmati dan disebabkan adanya rasa ingin tahun saja, layaknya orang yang menikmati kue lantas penasaran terhadap apa saja bahan-bahan panganan tersebut. Oleh keadaan yang demikianlah kemudian wawasan tentang sastra saya kian bertambah, sampai kemudian saya mencoba-coba untuk membuat sebuah tulisan.
Lantaran puisi lebih singkat dan bisa ditulis lebih cepat daripada tulisan lainnya, maka tulisan pertama saya adalah sebuah puisi. Saya menulis sebuah puisi pada tahun 1995 yang dimuat majalah Kiprah—saya sudah lupa isi dan judul puisi itu. Setahun kemudian saya menulis puisi lagi yang berjudul Sebuah Kota di Tengah Hutan yang dimuat Harian Serambi.
Pada awal menulis puisi memang terasa amat berat. Gagasan yang sudah begitu padat dan ingin dituangkan tidak kunjung bisa diujudkan dalam bentuk tulisan. Apa pun kata-kata yang saya tuliskan rasanya tidak pernah cocok, tidak mampu mewakili apa yang saya maksudkan. Sehingga berhari-hari saya berusaha mencari kata-kata lain yang saya anggap lebih tepat, menyebabkan saya seperti orang yang senantiasan dalam keadaan uring-uringan.
Saya percaya, bila kita punya pendirian yang kokoh dan tekad yang kuat terhadap suatu usaha, kelak tidak ada yang bakal sia-sia. Atas sikap inilah saya terus berusaha membaguskan puisi saya, sampai kemudian saya rasakan cukup mantap dan mengirimkannya ke penerbit selayak sebuah surat, lantas melupakannya. Waktu itu saya tidak tahu prosedur pengiriman, dan betapa terkejutnya tatkala puisi itu dimuat di majalah dan koran yang saya sebutkan di atas.
Tentunya saya kembali terkejut begitu koran yang memuat tulisan saya ini mengirimkan wesel, uang berupa honor tulisan. Jumlahnya memang tidak seberapa, tetapi membuat saya amat gembira dan memicu semangat saya untuk menulis lagi, yang pada awalnya hanya sebagai adu kemampuan; artinya apakah saya juga mampu menulis puisi yang layak dimuat di majalah atau koran sebagaimana karya orang lain.
Untuk selanjutnya saya memang terus menulis, tetapi tidaklah begitu teratur. Saya terus membaca karya-karya orang lain, baik melalui buku maupun koran yang memuat puisi, cerpen, dan catatan budaya. Kegiatan membaca ini saya sadari teramat penting, bahkan jauh lebih penting bila dibandingkan dengan menulis. Tanpa rajin membaca rasanya amat mustahil untuk bisa menuliskan sesuatu, apalagi sebuah tulisan yang berbobot.
Seiring dengan kegiatan membaca dan menulis puisi ini pula kemudian saya mencoba-coba untuk menulis cerpen. Sebagaimana jamaknya orang yang begitu sulit dalam mengawali sebuah tulisan, begitu pulalah yang saya hadapi saat itu. Bermacam-macam godaan datang silih berganti untuk menggagalkan rencana menulis saya. Ada bisikan semacam ini; untuk apa menyusahkan diri dengan menulis, bukankah lebih baik gabung sama kawan-kawan; model kamu ini mau menulis cerpen, jangan harap bisa; kalaupun bisa apa mamfaat cerpen itu bagi kamu, buang-buang waktu saja!
Burung Terbang di Kelam Malam
Kemudian saya tahu bahwa ternyata jin yang menggoda orang menulis itu cukup banyak, sehingga orang yang tidak sabar, tidak mau bersusah-payah, dan cepat menyerah, akan langsung gagal. Saya melawan godaan berat ini saat menulis Malam, cerpen pertama saya yang saya selesaikan dalam satu malam. Saya memang memaksakan diri, bagaimanapun juga cerpen ini harus selesai. Saya bertekad tidak akan berhenti sebelum menuntaskannya, yang kemudian membuat saya jatuh sakit lantaran terpaksa berjaga semalaman.
Sebagaimana pemaksaan saat menulis puisi, pemaksaan menulis cerpen ini jauh lebih berat. Saya tidak bisa meninggalkan begitu saja cerpen yang belum selesai, karena khawatir tidak akan pernah selesai selamanya. Maka, bila saya tidak sanggup menyelesaikannya dalam sekali duduk, saya tidak akan menulis cerpen, dan kebiasaan semacam itu terus berlanjut sampai sekarang bila sewaktu-waktu saya menulis cerpen.
Pengalaman saya menulis, dan mungkin ini hanya terjadi pada diri saya saja, bahwa dalam mengawalinya saya harus memaksakan diri. Setelah berhasil menulis sebuah puisi, selanjutnya lebih mudah bagi saya untuk menuliskan yang lain. Begitu pula ihwalnya saat saya memaksakan diri menulis cerpen Malam, selanjutnya lebih mudah bagi saya untuk menuliskan cerpen lain. Artinya tidak harus terlalu memaksakan diri lagi, dan kadang bahkan saya dapat dengan santai dan menikmatinya.
Tentu saja, novel tidaklah bisa diselesaikan dalam sehari, apalagi sekali duduk—ini sangat mustahil dilakukan, dan rasanya belum pernah ada hal semacam itu di dunia ini, sehebat apa pun penulis itu! Namun, proses menulis novel tidak jauh dari apa yang sudah saya lalui saat saya menulis puisi dan cerpen. Tatkala menuliskan novel pertama saya, Percikan Darah di Bunga, saya menulisknya selama 44 hari berturut-turut, tanpa ada jeda sehari pun. Saya hanya berhenti begitu waktu makan, waktu shalat, dan waktu tidur.
Kala menggarap novel pertama, saya menganggap bahwa saya ini adalah seorang prajurit yang terjun ke medan pertempuran. Karena sudah memulai, maka tidak ada alasan untuk undur diri; peperangan ini harus tuntas, entah nanti kalah atau menang (novel ini tidak jadi atau jadi), itu adalah urusan nanti. Ternyata novel pertama ini justru memenangkan Sayembara Novel Forum Lingkar Pena 2005, yang membuktikan bahwa saya menang di medan pertempuran dalam melawan godaan, kebosanan, dan rasa tidak percaya diri.
Burung Terbang di Kelam Malam
Setelah itu, novel-novel saya yang lain lahir dengan begitu mudah, sampai kemudian saya memulai menulis Lampuki (Serambi, 2010). Saat menulis novel berat ini,  saya harus kembali memaksakan diri dan sempat membuat prustasi. Namun, saya merasa bahwa kerja keras saya itu membuahkan hasil yang setimpal, sebab Lampuki memenangkan Sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2010 dan mendapatkan anugerah Khatulistiwa Literary Award 2011.
Sekarang saya jarang menulis puisi dan cerpen, karena saya lebih memusatkan diri pada menulis novel. Setelah Lampuki ada banyak novel lain yang sedang saya kerjakan, dan satu di antaranya yang berjudul Burung Terbang di Kelam Malam akan segera diterbitkan Bentang November 2013. Saya merasa lancar-lancar saja saat menulis, tidak lagi harus terlalu memaksakan diri seperti dulu. Cuma saja, yang jadi kendala sekarang adalah waktu. Menulis novel membutuhkan waktu yang luas dan panjang, sementara setiap hari saya harus bekerja dan sering disibukkan dengan ragam masalah lain.[]




Jumat, 24 Januari 2014

Novel Remaja Sarat Sastra, Tidak Seks



NOVEL Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang, Pebruari, 2014) karya Arafat Nur adalah sebuah pengungkapan peristiwa yang sebagian besar tidak diberitakan dalam media. Novel dengan bahasa yang sangat ringan ini, diharapkan mampu memicu minat remaja terhadap sastra, lantaran memotret hal-hal sederhana yang pelik di seputar kehidupan remaja sehari-hari.
     Novel yang sarat kandungan sosial-politik ini sesungguhnya tidak akan membuat pusing kepala sebagaimana novel serius pada umumnya. Kesederhanaan bahasa yang terjaga dan rapi, menjadikannya mudah dimengerti. “Saya sengaja menulis dengan jiwa remaja, sarat pesan kemanusiaan sehingga tidak jatuh menjadi novel murahan,” kata Arafat Nur, penulis novel ini.
      Penyair, penulis prosa dan esai, Sitok Srengenge mengatakan, ini adalah sebuah novel yang mengungkap realitas sosial-politik suatu masyarakat dari kurun yang rawan, menandakan bahwa pandangan penulis telah menjelma menjadi sebuah sikap nyata, semacam upaya aktif untuk penyelamatan kenangan yang terancam punah oleh sejarah—rekayasa naratif kaum penguasa yang hendak memonopoli kebenaran.
      Arafat Nur, melalui novel ini telah menciptakan tanah air baru bagi kebenaran di luar sejarah yang terancam mati, memberi mereka kemerdekaan untuk bangkit berkali-kali, lanjut Sitok. Perpaduan antara politik dan cinta yang sangat terjaga, terkomposisi dengan indahnya, sehingga pembaca dapat menikmati seperti memamah makanan kesukaannya.
    Wayan Jengki Sunarta, sastrawan dan budayawan mengatakan, novel ini sungguh menghibur sekaligus membuatnya terkagum, terharu, dan pada akhirnya termenung. “Arafat Nur mampu meramu adegan-adegan lucu, lugu, kisah romantis, kritik sosial, ketegangan, dan konflik yang dialami Fais dengan sangat memikat,” ujarnya.
    Selain itu, alur ceritanya runut dengan bahasa yang renyah, berusaha mengungkapkan kebusukan dan kemunafikan manusia-manusia yang berkedok dogma-dogma agama. Meski novel ini berlatar situasi Aceh pasca perang, namun kisahnya bisa menjadi cerminan bagi persoalan-persoalan kemanusiaan, agama, sosial, dan politik yang banyak ditemui di negeri ini.
      Dalam khazanah sastra Indonesia modern, jumlah novel yang mencerminkan keragaman budaya masih terbilang kurang. Maka, saya sangat meyambut baik usaha pengarang untuk memperkenalkan daerah mereka masing-masing kepada khalyak ramai, kata John H. McGlynn, penerjemah dan editor berkebangsaan Amerika.
      Katanya, novel Burung Terbang di Kelam Malam sangat menolong membuka wawasan pembaca atas keunikan kebudayaan Aceh. “Puji syukur karya Arafat Nur ini bisa memikat hati pembaca dengan cerita yang begitu realistis, sehingga sangat gampang membayangkan sosok dan kepribadaian sejumlah tokoh yang muncul dalam kisahnya,” pungkasnya.



      Burung Terbang di Kelam Malam mengungkap kehidupan sosial yang begitu dekat; tentang sisi gelap politik dan cinta. Hubungan cinta terlarang, perasaan tidak berdaya, takut kehilangan, dan kesedihan  yang begitu kental, tanpa kehilangan rasa humor. Sebuah kisah yang berliku, tetapi diceritakan dengan sangat lugas dan mengalir.(dee)

Selasa, 21 Januari 2014

Kaum yang Enggan Baca Buku

Burung Terbang di Kelam Malam

Oleh: Arafat Nur, penulis novel Burung Terbang di Kelam Malam

DARI sejumlah pengalaman saat terlibat dalam mengajar keterampilan menulis, tampak sekali bahwa kegiatan membaca menjadi masalah paling utama. Pangkal utamanya hanya kemalasan yang kemudian banyak melahirkan beragam macam dalih; sibuk, tak ada waktu, banyak kerjaan, capek, dan segudang alasan pembenaran lainnya.
Para pengamat mengatakan susahnya orang Indonesia membaca buku disebabkan oleh budaya yang buruk. Pendapat ini ada benarnya bila kita merujuk terhadap apa yang dikatakan seorang sastrawan terkemuka Pramodya Ananta Tour bahwa bangsa ini adalah bangsa kuli yang menjadi budak di negeri sendiri.
Pada zaman penjajahan sampai sekarang memang sedikit sekali kaum terpelajar di negeri ini, kebanyakan orang kita adalah kaum petani, nelayan, pekerja kasar, dan buruh yang tidak punya minat terhadap buku. Mereka tidak punya pikiran panjang dan imajinasi, selain hanya mengandalkan kekuatan tenaga untuk bertahan hidup untuk bisa terus mendapatkan nasi.
Keadaan ini menjadi semacam warisan budaya yang kemudian dilanjutkan pada anak-anak mereka yang tidak punya pilihan. Karena ayah mereka tidak suka membaca buku, dan merasa sangat aneh bila ada kuli yang membaca buku, maka tidak ada bahan bacaan buku di rumah-rumah. Buku-buku bacaan sebagaimana Ilmu Hitung, Ilmu Alam, Sejarah, Geografi, Kimia sampai Sastra hanya sebatas di sekolah belaka.
Burung Terbang di Kelam Malam
Pada masa-masa jayanya para penulis Indonesia melahirkan roman, kumpulan puisi dan kumpulan cerita pendek, hanya kaum ninggrat dan terpelajar saja yang dapat menikmati. Maka wajar bila masyarakat awam hanya mengenal roman Siti Nurbaya (Marah Rusli), Belenggu (Armijn Pane), Hujan Kepagian (kumpulan cerita Pendek Nugroho Notosusanto), sajak-sajak Amir Hamzah dan puisi-puisi Chairil Anwar hanya sebatas waktu mereka masih duduk di bangku sekolah.
Umumnya anak-anak ini bersekolah pun bukan atas minat sendiri, melainkan paksaan orangtua mereka yang menghendaki anaknya kelak tidak lagi menjadi kuli atau petani. Ruang dan bangku sekolah adalah kebosanan, terlebih buku-buku, sehingga begitu tamat mereka cuma bisa membaca dan berhitung, tanpa lagi mengingat apa itu alkina pada rumusan kimaatau botani pada pelajaran Ilmu Alam, dan mereka lupa pada sejumlah isi roman yang dibaca sebatas rangkuman cerita karena kewajiban pelajaran.
Menurut Rohana, salah seorang guru Bahasa Indonesia SMA di Aceh, sedikit sekali ada siswa yang menamatkan sebuah roman begitu tamat sekolah. Para siswa lebih suka menyikbukkan hal lain daripada membaca; yang perempuan gemar bercengkrama membicarakan soal makanan, sedangkan lelakinya sibuk dengan olahraga, bahkan di siang yang terik mereka masih saja bertekak minta main bola. Selebihnya adalah sibuk urusan pacaran, sehingga kegiatan membaca bagi mereka sangat mengganggu.
Ilmu pengetahuan bukan lagi sesuatu yang penting selain hanya untuk mencapai nilai, maka mereka merasa tersiksa begitu diminta membaca, apalagi menulis. Kadang bila disuruh membaca, mereka akan lebih tertarik memilih untuk membersihkan rumput di pekarangan sekolah. Perihal ini menunjukkan bahwa mereka lebih suka mengandalkan otot seperti ayah dan nenek mereka di zaman penjajah dulu.
Tak ayal lagi bila di negara ini tidak ditemukan seorang penemu pun, penemu yang berarti seperti di negara lain, selain hanya menjadi peniru—itu pun dengan kualitas produksi yang sangat buruk. Sampai sekarang, disebabkan kebodohan ini, sebagian besar penduduk Indonesia adalah petani, nelayan, kuli, dan pekerja kasar yang hanya pandai pengkomsumsi produk orang lain, yang kemudian disebut sebagai bangsa konsumtif.
Jadi tidak salah begini adanya bangsa ini akibat kurangnya cinta terhadap ilmu pengetahuan dan sastra. Sebetulnya sastra bisa menjadi tonggak pembentukan minat baca, tidak terlarang bagi kuli, petani, maupun buruh. Bila saja mental masyarakat ini lebih baik tentu akan mempengaruhi bagi budaya, setidaknya sejumlah orangtua bersedia menyediakan buku roman dan sejarah di rumah untuk dibaca anak-anak mereka.
Sulitnya minat baca ini memperlambat pertumbuhan ilmu pengetahuan, sastrawan dan ilmuan agak enggan melahirkan karya karena dirasa tidak ada gunanya (tidak ada yang baca), malah membuang energi dan merugikan finansial. Dengan demikian, bangsa ini sulit untuk menjadi bangsa yang maju dan kaum yang cerdas, para ahli yang lahir hanya ahli-ahlian dalam mengolah dan mengelabui orang awam.
Hanya beberapa orang saja dari generasi di sini yang mengecap pendidikan di luar negeri yang betul-betul menjadi terpelajar, mereka dapat mengikuti perkembangan ilmu dunia melalui bacaan asing, dari ilmu ekonomi sampai sastra yang sampai sekarang belum ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Selain itu kita hanya mengagung-agungkan apa yang sebetulnya tidak perlu diagungkan, yang malah hanya menambah kebodohan bagi orang lain.
Burung Terbang di Kelam Malam
Kembali lagi ke masalah awal bahwa minat baca anak tidak akan lahir jika orangtuanya malas membaca. Bila orangtua tidak suka membaca, maka di rumah tidak tersedia buku bacaan bagi anak-anaknya. Jika anak-anaknya tidak menemukan buku bacaan di rumah, mereka akan mencari mangga milik tetangga, mereka akan membentuk kelompok untuk main apa saja, bahkan sampai mengganggu ketentraman lingkungan.
Sekalipun anak Indonesia pada dasarnya malas membaca, jika orangtuanya suka menyediakan buku bacaan di rumah, terutama buku sastra dan sejarah yang dapat merangsang minat, setidaknya akan terjadi banyak perubahan. Ajarkan kepada mereka tentang cinta ilmu pengetahuan, pentingnya belajar, dan harus mampu menciptakan sesuatu yang berarti bagi orang banyak. Dengan demikian bangsa ini akan menjadi bangsa yang cerdas dan berarti, bukan menjadi bangsa yang pura-pura cerdas.[]
    --------------------------------------------------------