DARI sejumlah pengalaman
saat terlibat dalam mengajar keterampilan menulis, tampak sekali bahwa
kegiatan membaca menjadi masalah paling utama. Pangkal utamanya hanya
kemalasan yang kemudian banyak melahirkan beragam macam dalih; sibuk,
tak ada waktu, banyak kerjaan, capek, dan segudang alasan pembenaran
lainnya.
Para pengamat mengatakan
susahnya orang Indonesia membaca buku disebabkan oleh budaya yang
buruk. Pendapat ini ada benarnya bila kita merujuk terhadap apa yang
dikatakan seorang sastrawan terkemuka Pramodya Ananta Tour bahwa bangsa
ini adalah bangsa kuli yang menjadi budak di negeri sendiri.
Pada zaman penjajahan
sampai sekarang memang sedikit sekali kaum terpelajar di negeri ini,
kebanyakan orang kita adalah kaum petani, nelayan, pekerja kasar, dan
buruh yang tidak punya minat terhadap buku. Mereka tidak punya pikiran
panjang dan imajinasi, selain hanya mengandalkan kekuatan tenaga untuk
bertahan hidup untuk bisa terus mendapatkan nasi.
Keadaan ini menjadi
semacam warisan budaya yang kemudian dilanjutkan pada anak-anak mereka
yang tidak punya pilihan. Karena ayah mereka tidak suka membaca buku,
dan merasa sangat aneh bila ada kuli yang membaca buku, maka tidak ada
bahan bacaan buku di rumah-rumah. Buku-buku bacaan sebagaimana Ilmu
Hitung, Ilmu Alam, Sejarah, Geografi, Kimia sampai Sastra hanya sebatas
di sekolah belaka.
Burung Terbang di Kelam Malam |
Pada masa-masa jayanya
para penulis Indonesia melahirkan roman, kumpulan puisi dan kumpulan
cerita pendek, hanya kaum ninggrat dan terpelajar saja yang dapat
menikmati. Maka wajar bila masyarakat awam hanya mengenal roman Siti Nurbaya (Marah Rusli), Belenggu (Armijn Pane), Hujan Kepagian (kumpulan
cerita Pendek Nugroho Notosusanto), sajak-sajak Amir Hamzah dan
puisi-puisi Chairil Anwar hanya sebatas waktu mereka masih duduk di
bangku sekolah.
Umumnya anak-anak ini
bersekolah pun bukan atas minat sendiri, melainkan paksaan orangtua
mereka yang menghendaki anaknya kelak tidak lagi menjadi kuli atau
petani. Ruang dan bangku sekolah adalah kebosanan, terlebih buku-buku,
sehingga begitu tamat mereka cuma bisa membaca dan berhitung, tanpa lagi
mengingat apa itu alkina pada rumusan kima, atau botani pada
pelajaran Ilmu Alam, dan mereka lupa pada sejumlah isi roman yang
dibaca sebatas rangkuman cerita karena kewajiban pelajaran.
Menurut Rohana, salah
seorang guru Bahasa Indonesia SMA di Aceh, sedikit sekali ada siswa yang
menamatkan sebuah roman begitu tamat sekolah. Para siswa lebih suka
menyikbukkan hal lain daripada membaca; yang perempuan gemar
bercengkrama membicarakan soal makanan, sedangkan lelakinya sibuk dengan
olahraga, bahkan di siang yang terik mereka masih saja bertekak minta
main bola. Selebihnya adalah sibuk urusan pacaran, sehingga kegiatan
membaca bagi mereka sangat mengganggu.
Ilmu pengetahuan bukan
lagi sesuatu yang penting selain hanya untuk mencapai nilai, maka mereka
merasa tersiksa begitu diminta membaca, apalagi menulis. Kadang bila
disuruh membaca, mereka akan lebih tertarik memilih untuk membersihkan
rumput di pekarangan sekolah. Perihal ini menunjukkan bahwa mereka lebih
suka mengandalkan otot seperti ayah dan nenek mereka di zaman penjajah
dulu.
Tak ayal lagi bila di
negara ini tidak ditemukan seorang penemu pun, penemu yang berarti
seperti di negara lain, selain hanya menjadi peniru—itu pun dengan
kualitas produksi yang sangat buruk. Sampai sekarang, disebabkan
kebodohan ini, sebagian besar penduduk Indonesia adalah petani, nelayan,
kuli, dan pekerja kasar yang hanya pandai pengkomsumsi produk orang
lain, yang kemudian disebut sebagai bangsa konsumtif.
Jadi tidak salah begini
adanya bangsa ini akibat kurangnya cinta terhadap ilmu pengetahuan dan
sastra. Sebetulnya sastra bisa menjadi tonggak pembentukan minat baca,
tidak terlarang bagi kuli, petani, maupun buruh. Bila saja mental
masyarakat ini lebih baik tentu akan mempengaruhi bagi budaya,
setidaknya sejumlah orangtua bersedia menyediakan buku roman dan sejarah
di rumah untuk dibaca anak-anak mereka.
Sulitnya minat baca ini
memperlambat pertumbuhan ilmu pengetahuan, sastrawan dan ilmuan agak
enggan melahirkan karya karena dirasa tidak ada gunanya (tidak ada yang
baca), malah membuang energi dan merugikan finansial. Dengan demikian,
bangsa ini sulit untuk menjadi bangsa yang maju dan kaum yang cerdas,
para ahli yang lahir hanya ahli-ahlian dalam mengolah dan mengelabui
orang awam.
Hanya beberapa orang
saja dari generasi di sini yang mengecap pendidikan di luar negeri yang
betul-betul menjadi terpelajar, mereka dapat mengikuti perkembangan ilmu
dunia melalui bacaan asing, dari ilmu ekonomi sampai sastra yang sampai
sekarang belum ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Selain itu
kita hanya mengagung-agungkan apa yang sebetulnya tidak perlu
diagungkan, yang malah hanya menambah kebodohan bagi orang lain.
Burung Terbang di Kelam Malam |
Kembali lagi ke masalah
awal bahwa minat baca anak tidak akan lahir jika orangtuanya malas
membaca. Bila orangtua tidak suka membaca, maka di rumah tidak tersedia
buku bacaan bagi anak-anaknya. Jika anak-anaknya tidak menemukan buku
bacaan di rumah, mereka akan mencari mangga milik tetangga, mereka akan
membentuk kelompok untuk main apa saja, bahkan sampai mengganggu
ketentraman lingkungan.
Sekalipun anak Indonesia
pada dasarnya malas membaca, jika orangtuanya suka menyediakan buku
bacaan di rumah, terutama buku sastra dan sejarah yang dapat merangsang
minat, setidaknya akan terjadi banyak perubahan. Ajarkan kepada mereka
tentang cinta ilmu pengetahuan, pentingnya belajar, dan harus mampu
menciptakan sesuatu yang berarti bagi orang banyak. Dengan demikian
bangsa ini akan menjadi bangsa yang cerdas dan berarti, bukan menjadi
bangsa yang pura-pura cerdas.[]
--------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar