Lampuki |
INI adalah sepuluh rahasia unik tentang Arafat
Nur, yang sebagian besar fakta ini dirangkum dari sumber keluarga, teman-teman
dekat, dan dari Arafat Nur sendiri yang tidak pernah diungkapkan kepada publik.
Sebagian kecilnya memang telah dipublikasikan oleh seorang jurnalis yang
menelusuri kehidupannya di pesantren, sebagian lagi dari riwayat masa kecilnya
yang ditulis Arafat sendiri di Harian Waspada, berkenaan dengan kakeknya.
Sebagian lagi gunjang-ganjing fitnah terhadapnya di salah satu media online.
Tentang tulisan ini sendiri Arafat Nur telah
memberi izin dengan komentar, “Terserah Kalian saja mau tulis apa tentang saya.
Kalau memang saya buruk, tulislah buruk. Kalau baik, tulislah baik. Saya tak
akan menghalangi usaha Kalian. Yang jangan memfitnah saya dengan yang
tidak-tidak.” Jadi, inilah 10 fakta mengejutkan tentang Arafat Nur, penulis
novel yang selalu kesepian, dikagumi dan juga dibenci sebagian orang. Sebagian
besar kehidupannya memang masih sangat misteri karena dia tidak suka membuka
diri.
1. Arafat Nur lahir di Medan dari keluarga berada.
Foto pernikahan ayah-ibunya muncul di halaman depan Harian Waspada, sebuah
surat kabar satu-satunya dan paling terkemuka waktu itu di Medan, tempat sekarang
Arafat Nur mengirimkan berita setelah sebelumnya dia sempat menjadi pengantar
koran tersebut.
2. Muhammad Ali, kakek Arafat Nur dari pihak ibu,
adalah seorang tentara Haiho, pejuang yang melawan Belanda dan Jepang, juga
seorang guru ngaji yang sangat fasih mengajarkan tajwid para qari-qariah. Pada
masa merdeka kakeknya ini menjadi saudagar lembu yang cukup kaya di Medan.
Kakeknya ini juga adalah guru ngaji pertama Arafat yang terkenal keras, tetapi
kepada cucunya ini sangat lembut. Arafat Nur adalah murid paling cepat
menguasai Alqur’an sehingga kakeknya sangat bangga dan takjub, serta amat
menyanyanginya.
3. Arafat Nur juga menjadi salah satu cucu kesayangan
Nasfiah, nenek dari pihak ibunya, sehingga cucu-cucu yang lain ikut iri. Sejak
masih usia lima tahun, Arafat adalah anak paling rewel bertanya tentang Tuhan
dan apa saja sehingga Fatimah, ibunya sendiri, sering dibuat kesal. Nurdin,
ayahnya memiliki wawasan luas tentang agama dan sejarah yang kerap memuaskan
segala pertanyaan bocah rewel ini.
4. Usia tujuh tahun Arafat pindah ke pedalaman Aceh
Timur mengikuti ayahnya yang beralih pekerjaan dari kerani kereta api menjadi
petani. Untuk itu, setiap pagi Arafat kecil harus menempuh jarak 10 Km naik
turun bukit dengan berjalan kaki ke sekolah yang ditempuhnya hampir satu jam
penuh, dan beberapa kali sempat pingsan di tengah jalan saat pulang sekolah di
bawah terik matahari yang menjengat. Setiap hari dia hanya diberikan uang jajan
Rp5 pada kelas I dan Rp25 pada kelas II SD.
5. Dia masuk SMP di Idi, menjadi murid kesayangan di
tempat pengajian di Teupin Nyareng. Di sekolah dia selalu masuk tujuh besar
siswa terpintar sekalipun tidak pernah mengulang pelajaran di rumah. Pada
kenaikan kelas III SMP diadakan lomba musabaqah, dan Arafat mendapat juara satu.
Begitu juga saat pembagian raport, dia juga mendapatkan juara satu di kelas.
6. Dia melanjutkan SMA di Meureudu, Pidie, dan hidup
dalam ketidak menentuan akibat perang yang membuat nilainya jatuh merosot.
Namun, dia tetap berada dalam 10 besar siswa berprestasi di sekolah. Dia juga
mendalami ilmu agama di pesantren Darussalam, di samping mengajar baca Alqur’an
dan Kitab Jawi. Bahasa kitab Jawi inilah yang kemudian mempengaruhi gaya tulisannya
dalam novel Lampuki yang memperkenalkannya
ke kancah sastra nasional.
7. Saat mengaji dan mengajar ngaji, Arafat hampir
tidak pernah mengenakan sarung di antara santri-santri yang semuanya berkain
sarung. Namun, tidak ada seorang pun protes dan tidak seorang pun yang
menganggapnya aneh, justru dia terlihat aneh manakala memakai sarung. Dia
adalah anak yang pandai bergaul dan disukai teman-teman karena kesenangan humor,
yang kemudian terbawa pada gaya cerita dalam novel-novelnya.
8. Saat berada di rumah dan saat dia menulis, Arafat
kerap memakai celana pendek. Begitu datang tamu, dia segera menggantinya dengan
celana panjang sehingga tidak ada yang tahu kebiasaannya yang aneh ini selain
keluarganya sendiri yang tidak terlalu peduli dengan apa yang dikerjakannya.
Celana pendek adalah pakaian kecilnya dari SD sampai SMP. Bahkan saat SMA,
dalam biliknya di pesantren, dia kerap memakai celana pendek yang tidak pernah
sekalipun dipertanyakan, sebab itu memang ruang pribadi.
9. Arafat Nur adalah sosok awet muda, suka olahraga,
makan sayur, dengar musik, dan membaca buku apa saja. Sejak tamat SMA, dirinya
seperti tidak mengalami perbedaan mencolok pada sosok dan raut wajahnya,
seakan-akan dia agak diabaikan oleh waktu, sehingga cukup mudah bagi siapa saja
mengenalinya sekalipun sepuluh tahun tidak bertemu dengannya. Namun, dia cukup
sulit mengenali orang lain, malahan teman-temannya tampak jauh lebih tua darinya,
kadang dipanggilnya dengan “Abang” atau “Kakak”. Ada pula orang yang usianya 20
tahun lebih muda darinya, memanggil Arafat dengan “Dik”.
Burung Terbang di Kelam Malam |
10. Akhir-akhir ini ada sekumpulan orang yang kerap menfitnahnya,
mengatakan apa yang tidak diucapkan yang kemudian membuat Arafat lebih banyak
diam. Dia kemudian sadar, setelah dua novelnya yang terakhir terbit, dia mulai
disorot banyak orang. Itulah sebabnya dia lebih suka mendengar daripada
berbicara ketika berada di tempat umum. Ada pula kalangan lain yang pikirannya
sempit langsung mengklaim novelnya buruk tanpa pernah membacanya lebih dulu.
Namun, Arafat adalah sosok yang lapang dada, tanpa mengugat ataupun berusaha
membela dirinya yang dizalimi. Ketika ada teman yang kesal tentang masalah itu,
dia hanya berucap, “Biarkan saja. Lagi pula saya ini memang bukan orang baik,
dan hati saya ini pun belum tentu bisa dibaguskan.”
Begitulah sepuluh fakta tentang Arafat Nur yang
telah melahirkan novel Lampuki (Serambi,
2010) yang fenomenal, dan terakhir Burung
Terbang di Kelam Malam (Bentang, 2014) yang tidak kalah hebatnya.
Pikiran-pikiran tajam dan mengejutkan darinya yang tidak diucapkan, tertuang secara
padat, bernas, dan penuh makna dalam novel setebal 392 halaman ini. Dia menjadi
tokoh penting dalam khazanah sastra nasional dengan buah karyanya yang cerdas
dan mencerahkan, tetapi tidak pernah dipedulikan pemerintah dan novel-novelnya
kerap diabaikan oleh sebagian besar masyarakat Aceh yang memang tidak suka
membaca.(nagita)
0 komentar:
Posting Komentar