Nanda Feriana |The Globe Journal
Jum`at, 24 Januari 2014 19:10 WIB
Arafat
Nur, nama ini sudah tidak asing lagi dalam dunia kesusasteraan Aceh.
Penulis muda Aceh ini sudah sejak lama melalangbuana dalam dunia
kepenulisan. Di Aceh, namanya kian melejit sejak novel Lampuki yang
ditulisnya beberapa tahun lalau memenangkan sejumlah penghargaan di
tingkat Nasional.
Arafat mulai menulis karya sastra di tahun 90-an. Di antara sejumlah karya nya itu seperti novel Cinta Bidadari (Pustaka Intermasa Jakarta, 2007), Meutia Lon Sayang (Mizan Bandung, 2005), Percikan Darah di Bunga, Nyanyiam Cinta di Tengah Ladang , Cinta Mahasunyi dan sejumlah judul cerpen serta puisi lainnya yang sudah sering mengisi media massa.
Desember
2013 yang lalu, Arafat Nur kembali melahirkan sebuah novel yang
berjudul Burung Terbang Di Kelam Malam. Berbeda dengan Lampuki yang
dinilai berat, karena mengangkat isu sosial dan politik pada masa
konflik di Aceh, novelnya kali ini dinilai lebih ringan namun masih
tetap menghibur dan berlatar Aceh.
Melalui
novelnya ini Arafat Nur mengatakan bahwa ia mencoba mengajak
masyarakat Aceh untuk lebih gemar membaca. “Dalam novel Burung Terbang
di Kelam Malam ini, saya mencoba menjelaskan apa itu novel, bahkan ada
teorinya. Di situ saya coba gambarkan realitas bahwa masyarakat kita
saat ini sangat tidak akrab dengan bacaan, bahkan dengan benda yang
bernama novel itu. Oleh karenanya novel ini bermaksud untuk
memncerdaskan masyarakat, ” ujarnya.
Selain
itu ia juga mengatakan bahwa sisi menarik lainnya dalam novel Burung
Terbang di Kelam Malam adalah adanya sisi edukatif yang secara tidak
langsung mengajak masyarakat untuk menulis. Menurutnya dengan membaca
orang akan memiliki kemampuan menulis, karena syarat bisa menulis adalah
membaca,” ujarnya.
Penulis
yang pernah mendapatkan anugerah begengsi di Indonesia yakni
Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2011 untuk kategori fiksi dan pernah
meraih penghargaan sebagai pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010 itu mengaku tidak ambil pusing jika
karya-karya nya selama ini dikatakan kontroversi oleh segelintir orang.
“Saya
niatnya untuk mendidik, bukan malah membodohkan masyarakat Aceh. Jika
ada orang yang menilai begitu, tidak masalah bagi saya. Itu hak mereka.”
katanya kepada The Globe Journal, Jumat (24/1).
Penulis yang pernah diundang dalam acara Ubud Writers and Readers Festival tahun 2011
ini mengatakan novelnya akan segera beredar pada awal Februari
mendatang. “Ini novel ringan, dan mudah dipahami serta cocok dibaca
untuk semua kalangan. Semoga bisa diterima dengan baik oleh masyarakat
Aceh nantinya, “ tutupnya. []
0 komentar:
Posting Komentar