Selasa, 28 Januari 2014

Jangan Nulis Setengah Hati, Nanti Gagal

Bururng Terbang di Kelam Malam
Oleh: Arafat Nur, Penulis novel Burung Terbang di Kelam Malam.
--dimuat di harian Waspada.

BANYAK orang berkeinginan menulis puisi, cerpen, dan novel. Tatkala pelatihan manulis ataupun sekolah sastra dibuka, banyak sekali yang mendaftarkan diri, tetapi jarang di antara mereka yang bertahan sampai akhir pelajaran, apalagi pendidikan ini berlangsung sampai tiga bulan.

Di Sekolah Menulis Sasra Dewan Kesenian (DKA) Lhokseumawe yang saya gagas, misalnya. Sekolah ini menampung kapasitas hanya 30 siswa yang ternyata disesaki oleh 65 siswa pada hari pertamanya, datang dan mengikitu dengan begitu bersemangat dan minat yang menggebu-gebu.

Umumnya mereka sangat berhasrat untuk dapat menulis novel, paling tidak nantinya bisa menulis cerita pendek dengan baik. Terpancar dari sinar mata mereka, seolah-olah dengan mengikuti pelajaran ini secepat kilat mereka dapat menuliskan gagasan-gagasan luar biasa yang masih remang-remang dalam kepala mereka.

Bagi mereka, Sekolah Menulis  Sastra ini mengesankan adalah sebuah jalan pintas untuk dapat segera menulis cerita dengan baik, apalagi diasuh dan dibina oleh mereka yang sudah punya nama dan telah terbukti menghasilkan beberapa puisi, cerpen, dan novel yang memenangkan sejumlah penghargaan tingkat nasional.

Namun, para siswa yang masih awam ini belum memahami bahwa semua itu bukan jaminan. Keandalan pengajar memang membuka pelung besar bagi pengajaran yang lebih baik bila diiringi dengan kemauan belajar dan usaha yang keras untuk menguasai materi dan melatih diri dengan tekun pula.

Sepanjang proses belajar ini berlangsung adalah jalan panjang proses uji kesungguhan, apakah minat yang dimiliki siswa seimbang dengan usaha dan kerja keras. Maka, pada hari-hari selanjutnya banyak peserta yang bertumbangan; tidak datang, tidak mengerjakan tugas yang diberikan, dan mengabaikan latihan penting di rumah.

Bururng Terbang di Kelam Malam
Selama sebulan berlangsung dengan empat kali pertemuan, setiap Minggunya selama tiga jam, para peserta terus menyusut dan gairah mereka turun dratis setelah menghadapi berbagai tantangan, ternyata menulis itu tidak mudah, tidak bisa dilakukan seperti pekerjaan lain yang masih bisa dijalankan sambil bercanda-canda sesama kawan.

Dua bulan berikutnya hanya ada dua puluhan siswa yang masih bertahan, mereka yang punya tekad kuat dan berusaha mengatasi semua tantangan. Ternyata, mereka yang tersisa ini lebih berkualitas dari yang lain, baik dalam segi wawasan maupun dalam membangun cara perpikir positif.

Kendatipun menghadapi berbagai hambatan, mereka masih dapat menerima pelajaran dengan baik, setidaknya mereka lebih paham permasalahan yang dihadapi dalam menulis sebuah prosa. Menulis novel tidaklah semudah menulis artikel atau berita, apalagi bila dibandingkan dengan pekerjaan lain—itulah yang mereka pahami kemudian.

Penggarapan novel jarang bisa terjadi dalam hitungan hari, apalagi bulan. Penyelesaiana novel memerlukan masa yang panjang, ada yang satu dua tahun, tak jarang sampai tiga empat tahun, bahkan ada yang tujuh atau sepuluh tahun.

Sependek atau sepanjang apa pun waktu yang dibutuhkan untuk menulis cerita yang lengkap, semuanya tidak terlepas dari beberapa tuntutan yang perlu dipertimbangkan, terutama bagi para pumula yang memiliki hasrat untuk menjadi seorang novelis.

Perihal yang paling mendasar adalah menemukan gagasan menarik, merumuskannya dalam cerita singkat semacam sinopsisnya agar nanti mudah dalam mengembangkannya. Sinopsis ini dapat dikembangkan menjadi alur untuk kemudian menjadi adegan-adegan yang detail. Inilah yang kemudian sering disebut sebagai draf awal novel.

Mengenai gagasan bisa didapat dari pengalaman hidup sehari-hari, keadaan sekitar, imajinasi yang tiba-tiba terlintas, dan berbagai peristiwa lain. Ada kalanya gagasan menarik itu muncul ibarat kilat yang melesat cepat. Tergantung bagaimana pengetahuan dan kepekaan seseorang saja untuk bisa menangkapnya dengan baik sebagai bahan novel yang akan dikerjakan.

Sejumlah ihwal kecil juga tidak boleh diabaikan, seperti penggunaan nama tokoh, tempat, latar belakang kebudayaan, serta bangunan cerita yang tepat dan wajar. Ada baiknya untuk pemula agar menghindari nama tokoh yang terlalu banyak karena akan merumitkan, malahan bisa-bisa membingungkan pembaca.

Bururng Terbang di Kelam Malam
Sangat penting untuk menentukan pembagian alur secara teliti, karena alur adalah rentetan peristiwa yang terjadi di dalam cerita. Biasanya lebih mudah membuat alur lurus yang membangun cerita secara kronologis, dibandingkan metode kilas balik yang memaparkan peristiwa di masa lampau.

Bila dalam proses penulisan mengalami kebuntuan, carilah inspirasi dan tetaplah setia pada alur cerita yang sudah ditetapkan. Penulis novel adalah pejuang yang tak mengenal putus asa dan pantang menyerah sebelum pekerjaan selesai. Selagi buntu, bacalah karya-karya berkualitas milik orang lain dan pelajarinya secara lebih mendalam, baru kemudian tulis, tulis, dan tulis lagi.[] 

0 komentar:

Posting Komentar